Ketika Helicopter Turun di Hechlingen

7 July 2016

HECHLINGEN (BMW Motorrad) — Siang itu suara helicopter menderu. Saya lihat ke langit, tapi tak tahu dari arah mana helicopter akan datang. Lalu seseorang di tengah lapangan berteriak: “Itu sepertinya helicopter medik, segera kosongkan lintasan!”

Saya kemudian menangkap helicopter muncul dari pucuk-pucuk cemara. Warnanya kuning menyolok. Helicopeter itu lalu berputar di atas BMW Enduro Park Hechlingen. Dia mendarat tidak jauh dari posisi ambulan yang datang lima menit sebelumnya.

Dalam hitungan saya, kedatangan para medik ke camp pelatihan enduro paling bergensi di dunia milik BMW Motorrad itu tidak lebih dari 25 menit.

Padahal letak Enduro Park terbilang jauh dari kota. Setidaknya, dari sebuah kota kecil di Nördlingen, tempat kami menginap, memerlukan waktu tempuh 30 menit dengan sepeda motor.

Nahas memang nasib peserta pelatihan enduro asal Filipina itu. Padahal dia tidak bisa disebut pemula dalam bermain off-road. Bahkan dengan BMW R 1200 GS. Terlebih postur tubuhnya terbilang tinggi. Cukup atletis dan cocok menunggang GS yang besar.

Tapi itulah enduro. Permainan off-road dengan sepeda motor memang bukan perkara mudah. Walau terlihat menyenangkan, bermain enduro penuh resiko. Enduro tidak hanya sekadar bicara fisik. Banyaknya jam terbang di atas motor juga tidak menentukan. Terlebih bila hanya sering bermain di permukaan aspal.

Permainan enduro membutuhkan keterampilan tersendiri. Seseorang tidak bisa gegabah menyebut dirinya mampu, sekalipun sudah mengenal kararkter tunggangannya.

Karena itulah BMW Motorrad membangun sebuah camp yang dikhususkan untuk melatih mereka yang ingin bermain enduro dengan baik dan benar. Ini merupakan proyek serius. Proyek yang bertujuan mengajarkan para pecinta sepeda motor mengendalikan tunggangan di permukaan jalan yang sangat minim cengkraman roda.

Saya sangat beruntung menjadi satu dari tiga orang yang diajak BMW Motorrad Indonesia berlatih di Enduro Park Hechlingen. Selain saya, ikut pula aktor Ari Wibowo yang kini menjadi duta BMW Motorrad Indonesia, serta seorang pecinta sepeda motor sekaligus konsumen BMW R 1200 GS, Donny Liem.

Kami bertiga menjalani pelatihan secara intensif selama dua hari. Sungguh berat. Sungguh menguras nyali. Sungguh beresiko. Kami bahkan dipaksa mengingat tehnik-tehnik yang telah diajarkan, ketika stamina sudah hampir mencapai nol.

Keselamatan tidak mendapat toleransi di camp ini. Semua peserta wajib mengikuti aturan, termasuk penggunaan atribut keselamatan tinggi dalam bermotor. Di sini kami diharamkan memaksakan diri. Para instruktur pun bisa mengetahui di mana tingkatan kita dalam bermian off-road.

Jadi, kami tidak bisa mengaku mahir di depan para instruktur. Mereka sangat profesional, berpengalaman dunia, dan menguasai tehnik-tehnik tinggi.

Pada awal latihan di kelas advance kami diajarkan bagaimana mengangkat sepeda motor. Ini syarat wajib karena istruktur tidak mau mendirikan sepeda motor peserta yang terjatuh.

Lalu kami harus berulang-ulang berlatih manuver. Melewati kerucut-kerucut (cones) yang disusun memanjang. Sebuah latihan yang umumnya disepelekan para pemotor. Terlebih bagi mereka yang merasa dirinya sudah mahir bermotor.

Tapi secara bertahap kesulitan manuver ditingkatkan. Pada akhirnya kami dipaksa mampu berputar dalam sudut sempit di atas lintasan berkerikil yang licin. Ingat, unit yang kami pakai adalah motor-motor dengan bobot tak kurang dari 250 Kg. Tanpa tehnik yang benar, pekerjaan membelokkan motor dalam sudut sempit bisa menguras seluruh energi.

Setelah itu kami dibawa menaiki bukit. Tehnik mengangkat motor dan manuver yang kami pelajari teruji di lintasn ini. Lambat laun lintasan semakin sulit. Berputar arah dalam sudut sempit dan menanjak. Tanpa latihan sebelumnya, mustahil kami berani melakukannya. Apalagi di atas bukit, di mana kesalahan berarti terjatuh belasan meter, dan mendarat di bebatuan tajam.

Tak cuma sampai di situ. Di atas bukit, sebuah proses latihan lain juga kami lalui. Di antaranya adalah tehnik menanjak dan turun dalam sudut tinggi, serta menghadapi lintasan tunggal (single track).

Ketika instruktur memperagakan memang terlihat mudah. Tapi faktanya kami dibuat pontang-panting. Di tengah energi yang terkuras, bekal teori seperti tak berbekas. Karena itu, kami sadar bahwa enduro bukan soal nyali saja.

Sekali lagi, apa yang dialami peserta latihan dari Filipina adalah bukti bahwa enduro butuh stamina, kontrol emosi, dan pemahaman teknis yang baik. Ketidakseimbangan tiga elemen tersebut bisa berbuah fatal. Dan semua itu hanya bisa kita peroleh dari latihan berkesinambungan dan diawasi orang-orang berpengalaman.

Pada akhirnya turun bukit yang terlihat sepela bisa mematahkan tulang-tulang di tubuh kita. Contoh fase kegagalan yang terbilang fatal adalah kehadiran para medis untuk segera membawa kita ke rumah sakit. [dp/BMI]

Dikisahkan oleh wartawan senior Wisnu Guntoro Adi (Gareng)

+ Read more
spinner